Sejak jatuhnya Baghdad pada tahun 1258 dan pengusiran kaum Muslimin dari Spanyol 1492, kondisi umat Islam dianggap mundur. Anggapan ini tampaknya benar, sebab Barat terbukti telah sukses menjajah dunia Islam hingga abad ke-20.
Kemunduran umat dan kolonialisasi adalah masalah. Tapi, apa masalahnya dan apa pula solusinya?
Transformasi al-Qur’an
Menyikapi kemunduran umat, para politikus Muslim akan menganggap politik sebagai masalah utama, dan solusinya tentu melalui politik. Penggerak ekonomi Islam tentu akan mengklaim ekonomi adalah solusinya. Para juru dakwah mungkin menekankan pada keshalihan ritual dan sosial. Demikian yang lain-lain akan memiliki skala prioritasnya sendiri-sendiri.
Namun, dari sekian banyak tawaran solusi, tawaran cendekiawan Syed Mohammad Naquib al-Attas sungguh menarik. Baginya, ilmu adalah solusi dari segala persoalan umat. Tawaran ini tampaknya relevan dengan esensi dari kekuatan Islam sendiri.
Memang, esensi Islam adalah ilmu. Al-Qur’an merupakan kitab suci yang sarat dengan ilmu dan harus dipahami dengan ilmu. Bahkan, sejarah membuktikan bahwa dari al-Qur’an keluar puluhan disiplin ilmu (ilmu tafsir, ilmu hukum, ilmu waris, ilmu kesehatan, ilmu gramatika, dan sebagainya).
Aqidah Islam harus diyakini dengan ilmu. Syariat Islam hanya dapat diamalkan dengan ilmu dan dapat menghasilkan ilmu. Bahkan, dalam Islam, pemilik ilmu lebih utama daripada ahli ibadah.
Dalam sebuah Hadits yang panjang, Rasulullah SAW bersabda, “ … Sesungguhnya keutamaan orang yang berilmu dibanding ahli ibadah adalah seperti perbandingan bulan di malam badar dari bintang-bintang lainnya …” (Riwayat Abu Daud no. 3641).
Mu’adz bin Jabal RA pun berkata, “Pelajarilah ilmu, karena menuntut ilmu yang berdasarkan karena Allah itu akan menimbulkan rasa takut kepada Allah. Mencari ilmu merupakan ibadah. Mengingat-ingatnya adalah sama dengan bertasbih. Mengkajinya merupakan suatu jihad, mengajarkannya kepada orang yang tidak tahu merupakan suatu sedekah …”
Namun, ilmu yang dimaksud al-Attas bukan sekadar ilmu pengetahuan. Ilmu dalam Islam adalah ilmu untuk menanamkan kebaikan ataupun keadilan dalam diri manusia.
Manusia yang baik dalam Islam adalah manusia beradab. Karena makna adab berasal dari al-Quran (ma’dubah atau hidangan adab), maka pengajaran ilmu yang sesungguhnya adalah transformasi kandungan al-Qur’an. Itulah rahasianya mengapa akhlaq Rasulullah adalah al-Qur’an.
Tugas Ilmuwan
Secara disipliner, Syed Mohammad Naquib al-Attas memahami makna ilmu dalam Islam tidak terbatas pada suatu disiplin yang sempit dalam bentuk spesialisasi khusus. Ilmu meliputi berbagai bidang studi secara integral dan koheren yang mencerminkan worldview Islam. Maka dari itu, ilmuwan Muslim (ulama) bukan spesialis-spesialis yang lepas dari induk dan sumber ilmu dalam Islam. Ilmuwan Muslim harus berilmu universal meski berangkat dari yang spesial.
Dengan makna seperti itu, ilmuwan Muslim (ulama) bagi al-Attas adalah ulama yang memiliki kapasitas untuk mengonseptualisasikan, menjelaskan, dan mendefinisikan konsep-konsep penting yang relevan dalam masalah-masalah budaya, pendidikan, keilmuan, dan epistemologi yang dihadapi Muslim pada zaman sekarang.
Selanjutnya, tugas ilmuwan Muslim dengan kapasitas itu adalah memberikan jawaban Islam terhadap tantangan-tantangan intelektual dan kebudayaan dari dunia modern dan berbagai macam kelompok aliran pemikiran, agama, dan ideologi.
Tampaknya, al-Attas melihat bahwa ulama selama ini belum melakukan penjelasan, konseptualisasi, dan definisi masalah-masalah penting yang dihadapi umat. Benar! Memang dalam soal politik, misalnya, umat Islam masih gamang membedakan antara makna syura dan demokrasi, pemimpin Muslim dan kafir, dan sebagainya.
Dalam ekonomi, makna welfare (kesejahteraan) dan fallah masih tumpang tindih, dan banyak yang lain. Kekaburan konsep tersebut akan berpengaruh pada bagaimana ulama memberikan solusi terhadap problematika umat.
Jika memang tidak ada ulama yang dapat memberi solusi, mungkin kita sudah sampai pada suatu kondisi yang digambarkan Rasulullah SAW, “Sesungguhnya Allah tidak akan mencabut ilmu dari hamba-Nya sekaligus, akan tetapi akan mencabut ilmu dengan menghilangkan para ulama, sehingga apabila tidak ada seorang pun yang berilmu maka orang-orang akan menjadikan pemimpin dari orang-orang yang tidak berilmu, kemudian mereka memberikan fatwa yang sesat dan menyesatkan.” (Riwayat Bukhari).
Dari uraian di atas jelaslah bahwa esensi Islam adalah ilmu dan ilmu dalam Islam berdimensi adab. Jadi, peradaban Islam adalah peradaban yang harus dihidupkan dengan ilmu yang berdimensi adab. Oleh sebab itu, seluruh persoalan yang timbul dalam peradaban Islam, baik bersumber dari luar ataupun dalam diri umat Islam, semestinya dapat diselesaikan dengan ilmu.
Sungguh tepat sabda Nabi SAW, “Barangsiapa menghendaki dunia, maka wajib berilmu; barangsiapa menghendaki akhirat, maka ia wajib berilmu; dan barangsiapa menghendaki keduanya, maka wajib baginya berilmu.” (Riwayat at-Tirmidzi).*
Penulis: Prof. Dr. Hamid Fahmy Zarkasyi (Direktur Institute for the Study of Islamic Thought and Civilization (INSISTS)
Tulisan ini terbit di Majalah Suara Hidayatullah edisi Februari 2022.