25.7 C
New York
Sabtu, September 14, 2024

Buy now

spot_img

Emosi yang Terjebak

Seorang anak usia SMP sudah pindah pesantren berkali-kali. Ia selalu dikeluarkan dari pesantren karena punya kecenderungan untuk mengambil barang orang lain.

Ibunya yang juga mengajar di pesantren lain, kebingungan dan merasa kehabisan cara. Keperluan anak selalu dipenuhi. Nasihat, hukuman dari yang ringan sampai berat sudah dilakukan. Namun belum ada hasilnya. Si anak kebingungan mengapa di dalam dirinya selalu ada dorongan untuk mencuri.

Akhirnya, sang ibu menemui seorang terapis, untuk menggali alam bawah sadar anaknya supaya tahu akar permasalahannya sekaligus menerapinya.

Dalam sesi terapi tersebut, si anak berhasil menggali ingatannya di masa kecil. Ia menuturkan bahwa pernah melihat orang mengambil TV tetangganya ketika usia 5 tahun. Saat membawa TV, si pencuri dengan tenang tersenyum manis padanya. Dari peristiwa itu, ia menyimpulkan bahwa mengambil barang orang lain itu tidak apa-apa, menyenangkan, dan mudah dilakukan. Itulah pola pikir yang terbentuk.

Seiring berjalannya waktu, karena banyak melihat konflik ayah dan ibunya, si anak merasa seringkali tak nyaman. Beberapa kali, si ibu mengajukan cerai. Akibat rasa tidak nyaman, terancam, maka otak alam bawahnya bereaksi serta terpicu hingga mendorong untuk mencuri barang temannya.

Awalnya ada perasaan takut, hormon adrenalinnya terpicu sehingga yang diambil hanya barang-barang kecil dan murah. Namun begitu berhasil dan tidak ada yang tahu, ia merasakan sensasi rasa senang. Muncul dorongan untuk mengambil yang lebih besar dan bernilai. Ketika berhasil lagi, ia terus tertantang dan dorongannya semakin meningkat sampai akhirnya menjadi kebiasaan dan karakternya.

Dalam perjalanan hidup si anak, pengetahuan yang ia dengar dari guru, orangtua, bahkan masyarakat bahwa mencuri itu dilarang dan berdosa. Tapi pola pikir dari buah kejadian itu terlanjur terbentuk, sehingga hal itu tidak berdampak baginya.

Karena sang ibu juga pendidik, maka selalu berusaha sabar dan tetap mencarikan tempat belajar untuknya serta juga cara menyembuhkannya (healing). Dalam sesi terapi itulah, ketemu akar permasalahannya. Ada emosi yang terjebak (emotional trap) yang tak tersadari. Pola pikir yang keliru pada masa kecil ditambah problem keluarga men-triger-nya untuk kembali mencuri.

Setelah dilepaskan emotional trapI-nya itu, si anak mulai paham apa yang terjadi dengan dirinya. Ia berusaha berdamai memaafkan dirinya dan ayah ibunya, juga orang-orang yang ada di sekitarnya yang turut mempengaruhi. Secara perlahan anak ini berubah, dan terus dikuatkan.

Kisah di atas dalam istilah psikologi disebut kleptomania. Penting bagi orangtua dan guru untuk memahami akar masalahnya dan perlu skill untuk mengatasinya, tidak hanya berupa nasihat dan ancaman. Semoga Allah senantiasa memberikan ilmu terbaik untuk mendidik anak-anak dan generasi Rabbani.

Penulis: Ida S. Widayanti (Pegiat Parenting dan Praktisi Pendidikan)

Tulisan ini terbit di Majalah Suara Hidayatullah edisi April 2022

Related Articles

Stay Connected

0FansSuka
3,912PengikutMengikuti
22,000PelangganBerlangganan
- Advertisement -spot_img

Latest Articles