Zaman dahulu seringkali identik dengan gambaran kolot dan ketinggalan zaman. Namun demikian, para orang tua dahulu telah berjasa mempertahankan ajaran Islam kepada anak keturunannya hingga sekarang. Sekian banyak generasi telah berlalu, dan ruh Islam masih terasa dan terus tumbuh dalam jiwa.
Nah, bagaimana dengan generasi masa depan? Adakah jaminan karunia itu masih bisa dinikmati oleh anak keturunan kita nanti? Adakah kebanggaan sebagai Mukmin tetap bersemayam dalam jiwa anak-anak?
Sebagai evaluasi, rasanya pertanyaan di atas wajar untuk dikemukakan. Sebab kini tampak adanya kekhawatiran tentang benteng-benteng pertahanan agama yang mulai rusak dan tergerus.
Terlepas dari metode dakwah yang kadang dipersoalkan oleh sebagian orang, sejujurnya orang tua kita dahulu telah berhasil dalam menanamkan ruh Islam pada anak-anaknya. Dengan segala kekurangan dan keterbatasan, itu semua adalah upaya nyata menyelamatkan generasi agar tetap teguh sebagai seorang Muslim di tengah derasnya arus tantangan dan godaan zaman.
Kekuatan Umat Islam
Bukan kepalang tanggung masa penjajahan dahulu di negeri ini. Sejarawan menyebutnya 350 tahun lebih. Tentu peristiwa ini tidak sederhana. Selain persoalan keamanan dan ketenangan di tengah masyarakat, sosial dan ekonomi yang terpuruk, umat Islam juga dihadapkan pada gerakan misionaris atau pendangkalan aqidah yang digencarkan oleh bangsa penjajah.
Ternyata para orang tua dahulu yang disebut kolot dan primitif itu, selain bisa mengusir penjajah, juga bisa mempertahankan nilai-nilai ajaran Islam. Ini sungguh fenomena menarik.
Dalam kondisi terjepit penjajahan sekalipun, selalu ada upaya untuk menjaga nilai-nilai keagamaan. Dalam kondisi kritis, justru terlahir ide-ide dakwah strategis dalam menyelamatkan umat Islam. Bahkan metode dakwahnya terbilang cukup memusingkan penjajah.
Kaum penjajah tak menyangka, umat Islam justru bisa bersatu di bawah panji agama. Dalam kondisi melarat dan menderita, kaum Muslimin malah kian semangat mempertahankan bahkan memberi perlawanan. Hanya bermodal sebilah parang dan bambu runcing, pekikan “Allahu Akbar” cukup untuk menggetarkan musuh.
Jika para orang tua dahulu sudah berhasil melewati tantangan dakwah tersebut, maka bagaimana dengan tantangan di masa mendatang? Masihkah gairah dakwah itu dimiliki dan bisa kita wariskan kepada keturunan selanjutnya?
Hendaknya kondisi saat ini menyentakkan kita semua, sebab terasa voltase keimanan sekarang seolah menurun drastis. Lalu bagaimana dengan nasib dakwah di masa depan?
“Dan hendaklah takut kepada Allah orang-orang yang seandainya meninggalkan di belakang mereka anak-anak yang lemah, yang mereka khawatir terhadap (kesejahteraan) mereka. Oleh sebab itu hendaklah mereka bertaqwa kepada Allah dan hendaklah mereka mengucapkan perkataan yang benar.” (an-Nisa’ [4]: 9).
Bukankah soal keturunan dan generasi pelanjut ini merupakan tanggung jawab kita, yang pasti akan dituntut oleh Allah SWT?
Strategi Dakwah
Para orang tua kita dahulu telah berhasil memasyarakatkan ajaran Islam hingga ke pelosok pedalaman. Ajaran Islam sampai menembus relung kalbu masyarakat. Hingga kini, kita masih bisa melihat nuansa spiritual dimana-mana.
Umpamanya acara syukuran menempati rumah baru, punya kendaraan baru, pekerjaan baru, dan sebagainya. Tampaklah bahwa syiar Islam begitu meresap ke tengah masyarakat.
Terlepas dari persoalan apakah dimengerti atau tidak, namun ini bisa menggambarkan perhatian dan kejelian para ulama dahulu dalam menggencarkan dakwah Mereka pandai memanfaatkan setiap situasi dan kesempatan sehingga bahasa Islam selalu menggetar dimana saja dan kapan saja.
Barangkali para orang tua kita dahulu sejak awal sudah memperkirakan bahwa tidak mudah menghadirkan orang-orang untuk datang berbondong-bondong ke masjid. Bagi sebagian orang, datang ke masjid itu tidak segampang keinginan dan pikiran kita. Nah, dimanapun acara keislaman itu diadakan, diharapkan bisa menjadi kegiatan dakwah dengan menyelipkan nasihat-nasihat kebaikan.
Sekali lagi, terlepas dari masalah sunnah atau lainnya yang biasa dipersoalkan oleh sebagian orang, inilah satu bentuk hidangan yang ditawarkan oleh para ulama dahulu untuk memberikan pendidikan kepada masyarakat. Setiap saat, kapan dan dimana saja, seluruh lapisan umat Islam didorong untuk tetap bersentuhan dengan nilai-nilai agama.
Rasanya ini termasuk kecerdasan sekaligus strategi para ulama dahulu dalam berdakwah. Sehingga kaum Muslimin merasa memiliki idola atau rujukan, yakni kalangan ulama, sebagai tempat mereka bertanya untuk urusan-urusan agama. Istilah gampangnya, alamat jika ada yang minta “barakah” dalam keseharian mereka.
Bisa dilihat jika ada acara kenduri misalnya, terkadang warga belum mau “menyentuh” makanan jika belum didoakan oleh orang yang dipanggil kiai atau imam di kampung. Mereka percaya, doa para ulama atau orang shalih itu mustajab dan mengundang barakah bagi shahibul hajat (pihak yang punya hajat).
Dakwah orang tua kita dahulu akhirnya mampu menempatkan nilai-nilai agama menjadi kultur dan kebiasaan di masyarakat. Meski diakui ada juga yang terlewat fanatik atau berlebihan dalam mengkultuskan seseorang.
Umat menjadi kumpulan orang-orang yang taat dan siap diatur oleh para ulama. Seolah tidak jadi masalah andai dia mengerti isi khutbah atau tidak, dia tetap asyik mendengarkan ceramah sang ulama.
Nyaris tak ada tanggapan negatif meski barangkali isi ceramah kepanjangan dan sedikit bertele-tele. Tidak ada teknik retorika atau intonasi suara yang menghipnotis para pendengarnya. Justru terkadang materi yang dibaca “itu-itu saja”. Namun bagi mereka, yang terpenting adalah meraup barakah ulama dengan menghadiri majelis ilmu.
Tulisan ini terbit di Majalah Suara Hidayatullah edisi Mei 2022.