“Jadi, kalau memang Allah sudah mengizinkan pasti ada jalan.”
Jarum jam di dinding sudah menunjukkan pukul 5 sore, tetapi karyawan di rumah produksi Keripik Momchips di Kota Batu, Jawa Timur, masih terlihat sibuk dengan pekerjaannya masing-masing.
“Biasanya, jam 4 sore mereka (karyawan) sudah pulang. Tapi karena panjenengan (kamu) datang ingin meliput, jadi pulangnya mundur,” kata Hari Mastutik, pemilik rumah produksi tersebut kepada Suara Hidayatullah, Sabtu (23/10/2021).
Keripik Momchips termasuk salah satu oleh-oleh khas Kota Batu yang terbuat dari buah-buahan, sayuran, serta ubi-ubian. Proses produksinya menggunakan vaccum frying dengan kapasitas 50kilogram sekali penggorengan. Kini sudah tersedia lebih dari 40 varian.
Sebelum pandemi, rumah produksi di bawah CV Arjuna 999 ini mampu mengolah bahan baku 8 sampai 10 ton setiap bulannya. Namun, sejak musibah itu melanda negeri ini, jumlahnya menurun dari 6 sampai 8 ton. Tapi kini, sudah menunjukkan kembali adanya peningkatan jumlah produksi.
Lantas, apa kunci suksesnya, Tutik—panggilan akrabnya—bisa bangkit kembali di tengah pandemi?
Membantu Petani Sekitar
Bagi Tutik, menjadi pelaku Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM) tidaklah se-ringan membalikkan telapak tangan. Untuk menjadi seperti sekarang, ia harus merasakan beratnya perjuangan dan pengorbanan.
Ia pun paham betul bahwa dalam menjalankan usahanya tak lepas dari rintangan, ujian, maupun cobaan. “Apalagi saat pandemi seperti kemarin. Kita harus berpikir kreatif,” ujarnya berbagi tips.
Salah satu kreatifitas Tutik selama pandemi yaitu menciptakan varian baru seperti keripik dari brokoli, bawang merah, bawang putih, kacang panjang, bombai, cabai merah besar, baby buncis, bunga kol, wortel, dan sebagainya.
“Keripik brokoli sekarang menjadi produk andalan karena disukai semua kalangan, mulai dari anak kecil hingga dewasa. Bahkan, kita sampai bisa ekspor ke beberapa negara,” terangnya seraya bersyukur.
Menariknya, ide untuk menambah varian baru ini sebetulnya tidak muncul begitu saja. Namun karena ada dorongan dari keprihatinan ingin membantu petani lokal di sekitar kediamannya. Karena pandemi membuat mereka amat terpuruk, sebab kesulitan untuk menjual hasil panen.
“Selain itu, ada teman kesulitan menjual daging. Sebelum pandemi, biasanya laku banyak, akhirnya minta tolong untuk dibuatkan dendeng krispi. Seolah nyambung, saat saya bikin keripik dari sayuran. Lalu muncul dendeng dari daging,” kata Tutik.
Gayung pun bersambut. Momen-momen lockdown selama pandemi, selain untuk kesempatan menolong sesama, ternyata menjadi berkah bagi Tutik untuk meraup pundi-pundi rupiah dengan menelurkan ide-ide yang out of the box.
“Produk saya juga bisa memenuhi kebutuhan lauk yang bergizi untuk masyarakat, khususnya pelanggan. Sebab, keripik saya tidak pakai tambahan pemanis ataupun pengawet. Semua murni dari kandungan buah dan sayur,” ucapnya.
Yakin dan Semangat Belajar
Sebenarnya tidak pernah terpikir di benak Tutik untuk memproduksi keripik buah, sayuran, serta ubi-ubian. Mulanya, ia hanya produksi keripik tempe dan rempeyek kacang.
“Saya itu ibu rumah tangga yang sehari-harinya mengurus keluarga. Setelah suami meninggal di tahun 2010, saya harus mencari kesibukan untuk mengisi waktu agar bisa bermanfaat buat orang lain, karena saya banyak waktu luang di rumah. Anak-anak semuanya sudah berumah tangga,” ungkap ibu tiga anak ini membuka kisah.
Akhir tahun 2011, Tutik mulai bikin keripik tempe serta rempeyek kacang. Ia coba untuk menitipkan ke toko oleh-oleh di sekitar rumahnya, tapi selalu ditolak. “Saat itulah saya sangat sedih. Tapi penolakan itu menjadi cambuk buat saya,” akunya.
Tanpa sepengetahuan Tutik, salah satu anaknya membuat akun facebook untuk media pemasaran rempeyek kacang dan keripik tempe tersebut.
“Saya nggak tahu kalau rempeyek itu difoto lalu diposting ke facebook. Ternyata ada hikmahnya. Ada buyer dari Hongkong yang lihat rempeyek dari facebook itu, lalu menelepon saya. Awalnya saya nggak percaya. Saya kira dikerjain teman atau adik. Tetapi ternyata benar, buyer itu mau beli rempeyek. Setelah harganya cocok selang tiga jam langsung ditransfer uangnya,” kenang Tutik.
Tutik seolah ketiban durian runtuh. Nominal pre order (PO) buyer dari Hongkong membuatnya kaget. “Saat ambil uang transferan saya agak takut karena lumayan banyak. Nilainya sebesar 10 juta hanya buat rempeyek. Saat itu tahun 2012. Jadi, saya dimodali dulu sama buyer itu,” terang Tutik.
Setelah uang di tangan, Tutik baru menyadari jika memproduksi rempeyek kacang dalam jumlah dua kwintal itu tidak mudah pada waktu itu. Namun, dengan penuh perjuangan dan pantang menyerah disertai doa, ia pun mampu menyelesaikan PO dalam waktu dua pekan saja.
“Mungkin Allah sudah memberikan jalan sehingga saya harus bekerja agar punya usaha sampai sekarang. Itulah yang membuat saya berani untuk ambil keputusan. Karena waktu itu saya nggak ada rasa takut gagal. Jadi, kalau memang Allah sudah mengizinkan, pasti ada jalan,” paparnya.
Namun ternyata tantangan tidak hanya berhenti pasca produksi rempeyek kacang usai. Masalah berikutnya yaitu bagaimana cara mengemas agar rempeyek kacang itu tidak hancur tatkala sampai di tangan buyer di Hongkong?
“Tapi alhamdulillah ada jalan, saya pakai kertas-kertas cacahan warna putih. Saya coba packing dulu satu karton. Saya lempar seperti perlakuan ekspedisi biasanya. Setelah itu, saya buka lagi, ternyata masih bagus. Itu yang membuat saya berani untuk kirim ke Hongkong. Akhirnya, kami pun menyelesaikan sampai sekitar 300 karton,” jelas Tutik dengan mata berkaca-kaca.
Dari peristiwa itu, Tutik merasa sangat bersyukur karena dapat belajar langsung dari pengalaman, khususnya mengenai produksi rempeyek kacang dalam jumlah besar, juga belajar pengepakan dan proses ekspor ke luar negeri.
“Hasil dari buyer Hongkong selama beberapa tahun itu saya kumpulkan dan bisa untuk modal usaha sampai sekarang,” pungkasnya.
Penulis: Achmad Fazeri/Suara Hidayatullah
Tulisan ini terbit di Majalah Suara Hidayatullah edisi Februari 2022.