Menolak pinjaman dari bank. Menawarkan kerja sama dengan sistem syirkah. Hasilnya?
Di pintu ruang desain itu, tertempel stiker kecil bertuliskan kalimat, “Jazakumulah khayr telah datang lebih awal. Ambil wudhu, tadarus, briefing, dan Shalat Dhuha. Semoga berkah”.
Di ruang lainnya juga ada. Bahkan dibingkai rapi dan tulisannya lebih besar, “Awali Bekerja dengan Basmallah”.
Begitulah kondisi ruang kerja sebuah perusahaan rumahan yang memproduksi jas hujan syar’i bernama ‘Sheba’, di kawasan Pasar Kemis, Tangerang, Banten. Home Industry yang didirikan oleh Eka Rizki Indriyani bersama sang suami, Priyo Agung Wicaksono sejak tahun 2011 ini, idenya tercetus secara tidak sengaja.
Suatu ketika, Eka membuka cerita, hujan turun deras. Sementara, ia ingin keluar rumah pakai sepeda motor. Ia pun mengenakan jas hujan model ponco. Karena jilbabnya lebar, ia tidak nyaman menggunakan jas hujan tersebut. Dari situlah, akhirnya mereka terinspirasi untuk membuat jas hujan sendiri.
“Desainnya saya minta dari seorang perancang busana Muslim,” katanya kepada Suara Hidayatullah di kediamannya daerah Pasar Kamis, Tangerang, Banten, pada pertengahan Januari lalu.
Selain itu, wanita berusia 28 tahun ini juga memanfaatkan tren pakaian Muslimah yang belakangan sedang marak hingga terciptalah jas hujan Muslimah.
Menolak Pinjaman Bank
Untuk pertama kalinya, Eka memberanikan diri memproduksi jas hujan Muslimah pada pertengahan 2011, ketika masih tinggal di Yogjakarta. Ia kerja sama dengan penjahit dekat kontrakannya. “Waktu itu, masih pakai sistem pre-order. Jadi, saya cuma butuh modal 200 ribu untuk bikin contohs,” katanya.
Setelah contoh jadi, sambung Eka, ia foto, kemudian disebar ke sosial media. Tak sampai sebulan, 60 orang memesan jas hujannya dengan harga 80 ribu.
Setahun berjalan, usahanya lancar. Namun, setelah itu, muncul masalah besar. Ia mendapatkan bahan dengan kualitas jelek. Alhasil, sebagian jas hujannya tembus air. Akhirnya, banyak pembeli yang protes, meminta uang kembali. Bahkan, ada yang sampai membatalkan orderan senilai jutaan rupiah.
Eka mengambil hikmah dari kejadian itu sambil melakukan evaluasi. Dan dengan berbagai pertimbangan, pada 2013, ia menghentikan sementara produksi jas hujannya. “Mulai produksi lagi tahun 2015, setelah kami menemukan bahan yang bagus,” jelasnya tersenyum.
Hal lain yang membuat Eka kembali memproduksi jas hujannya, karena masih banyak pelanggan yang ingin membeli.
Saat memulai kembali, Eka mendesain sendiri dan meminimalisir kesalahan jahit. Hasilnya memuaskan. Kualitasnya jauh lebih baik. Sehingga tak butuh waktu lama, ia langsung kebanjiran pesanan hanya dalam beberapa bulan. “Awalnya, ada 300 pesanan,” katanya.
Tahun 2016, karena pesanan terus bertambah, Eka dan suami berusaha memutar otak untuk mencari tambahan modal. Beberapa bank menawarkan pinjaman, tetapi mereka tolak mentah-mentah.
Setelah diskusi dengan suami, akhirnya Eka menawarkan kerjasama kepada orang yang satu visi. “Saya pakai the power of syirkah untuk mencapai berkah,” katanya.
Syirkah adalah kerja sama dua orang atau lebih dalam berbisnis, yang keuntungan dan kerugiannya ditanggung bersama.
Saat ini, produksi jas hujan Muslimah Sheba setiap bulan minimal mencapai 1.000 pcs. Selain tersebar di seluruh provinsi Indonesia, produk Eka itu juga menyentuh pasar luar negeri. Di antaranya Malaysia, Singapura, Jepang, Hongkong, Oman, Italia, Mesir, Dubai, dan Arab Saudi.
“Bahkan, ada agen di Belanda,” imbuh Eka. Omsetnya pun mencapai ratusan juta rupiah setiap bulannya.
Lingkungan Kerja
Dalam menjalankan usahanya, lulusan jurusan Perbankan Syariah Sekolah Tinggi Ekonomi Islam Hamfara ini tak ingin sekadar mengejar keuntungan materi, tetapi juga sarana mengajak karyawan untuk meningkatkan keimanan.
Karena itu, sebelum memulai aktifitas, ia mewajibkan ke sembilan karyawan yang semuanya wanita untuk Shalat Dhuha dan membaca al-Qur’an secara bergantian. “Itu setiap hari. Habis Shalat Dhuha, tadarus, lalu brifieng singkat,” kata ibu dari tiga anak ini.
Selain itu, setiap pekan, karyawanya juga wajib memberikan tausyiah atau kultum secara bergantian. Khusus hari Kamis, Eka terjun langsung untuk memberikan ceramah. “Temanya lebih kepada keimanan dan penguatan akidah,” ujar wanita yang pernah berkecimpung dalam dunia entertainment ini.
Beberapa kali kesempatan, ia mengingatkan karyawannya, supaya memasang niat bekerja sebagai sarana untuk beribadah. Dan harus tertanam dalam hati, target penjualan serta target dunia itu hanya bagian kecil. Bukan menjadi tujuan hidup. Karena, ada yang lebih tinggi yakni, target sukses di akhirat.
“Ketika saya tanamkan itu, insyaallah mereka akan bekerja amanah,” imbuhnya.
Setiap pekan, ia juga melakukan kegiatan sosial dengan mengajak agen di seluruh Indonesia. Bentuknya dengan menyisihkan beberapa persen kuntungan dari hasil usahanya. Uang itu dikumpulkan setiap Jumat, kemudian dibelikan makanan boks untuk dibagi-bagikan.
“Saya dan tim yang langsung mengantarkan ke masjid, panti asuhan, pemukiman kumuh, kaum dhuafa, dan sebagainya,” jelasnya.
Selain sedekah makanan, setiap bulan ia juga rutin memberikan infak ke sebuah lembaga sosial Islam. Ketika terjadi bencana di Tanah Air, ia juga mengajak seluruh agen untuk menyisihkan penghasilannya. “Seperti bencana Palu dan rutin juga donasi untuk Palestina,” ucapnya.
Kepedulian sosial Eka, tak hanya tertuju kepada kaum dhuafa, tapi juga karyawan serta agennya. Setiap bulan, ia memberikan apresiasi kepada karyawannya yang berprestasi. Bentuknya, berupa barang berharga. Demikian juga, kepada agen-agennya. “Saya kasih handphone atau emas. Saya antar sendiri ke agen supaya terjalin silaturahmi,” tutupnya.
Penulis: Niesky H Permana
*Artikel ini telah terbit di Majalah Suara Hidayatullah edisi Februari 2020.