21.4 C
New York
Sabtu, September 14, 2024

Buy now

spot_img

Benarkah Tuhan itu Sempurna?

David Hume (1711-1776), seorang filsuf Skotlandia, secara khusus berbicara soal kesempurnaan Tuhan. Menurutnya kita tidak boleh memulai dari asumsi bahwa Tuhan itu sempurna. Lalu, kita berasumsi bahwa ciptaan-Nya layak bagi-Nya, dan kemudian berargumen, atas dasar ini, bahwa kita memiliki bukti kalau Tuhan itu sempurna. (Hume on Religion, Stanford Encyclopedia of Philosophy, https://plato.stanford.edu/entries/hume-religion/).

Sebenarnya, pernyataan Hume sudah selesai dijawab oleh para filsosof Muslim. Al-Farabi menyatakan, bahwa Tuhan merupakan ‘sebab pertama’ sebagai wujud pertama yang menyebabkan adanya wujud-wujud lainnya di alam. (Daulasi Uliri, al-Fikr al-‘Arabiy wa Makānuhū fīt-Tārīkh, 164).

Penciptaan alam ini diawali dari wujud tunggal yang mesti ada (Wâjib al-Wujud) yaitu Tuhan, kemudian melimpah menghasilkan (mumkin al-wujūd). Al-Farabi juga memandang, bahwa wujud yang ada merupakan mata rantai wujud abadi yang memancar dari wujud tunggal, kekal, dan abadi (Abd. Rahman al-Badawiy, Rasā’il Falsafiyyah, 36).

Selanjutnya, untuk memahami kesempurnaan Tuhan, bisa dijelaskan bahwa Wâjib al-Wujud memiliki sifat-sifat yang dapat dibagi menjadi dua. Yaitu, sifat salbiyah (negatif); bermakna sifat-sifat yang menunjukkan adanya kekurangan yang tentu saja tidak berlaku bagi Tuhan. Dan sifat tsubutiyah (positif), yaitu sifat-sifat yang tetap bagi Tuhan dan Tuhan harus memiliki sifat-sifat tersebut.

Untuk menetapkan sifat tsubutiyah, yaitu Wâjib al-Wujud tidaklah membutuhkan sebab. Di antara beberapa ketidakbutuhan terhadap sebab ini adalah keazalian dan keabadian. Artinya bahwa karena Tuhan tidak membutuhkan sebab maka Dia senantiasa ada dan akan senantiasa ada. Dan karena Dia merupakan sebab bagi seluruh sebab, tentu saja Dia lebih besar dari segalanya serta mempunyai segala kesempurnaan yang dimiliki oleh seluruh akibat.

Menetapkan sifat salbiyah juga dapat dilakukan dengan menafikan sesuatu bagi Tuhan yang salah satu kemestian Wajib al-Wujud­-nya adalah simplesitas.  Artinya bahwa Wâjib al-Wujud ini tak punya imitasi (rangkapan) dan bagian-bagian, sebab setiap entitas rangkapan itu memiliki cela dan tidak dapat menjadi Wajib karena ia memerlukan bagian-bagiannya.

Karenanya, Tuhan tidak memiliki rangkapan dan terbebas (munazzah) dari segala jenis tipologi benda dan rangkapan. Maka, terbebasnya Tuhan bermakna bahwa segala jenis cela dan kekurangan ternafikan dan ternegasikan dari Tuhan.

Secara umum, segala jenis pemahaman yang menunjukkan adanya cela dan keterbatasan serta kebutuhan akan ternafikan dari Tuhan dan demikianlah makna sifat salbiyah. (Âmuzesy ‘Aqâid (Iman Semesta), Muhammad Taqi Mishbah Yazdi, hal. 66).

Menurut al-Kindi dalam karyanya yang berjudul Fi al-Falsafah alŪlā, Tuhan adalah “Sebab Pertama”, dimana wujud-Nya bukan karena sebab lain. Dia adalah Dzat yang menciptakan segala sesuatu dari tiada, serta Dzat yang menyempurnakan dan bukan disempurnakan.

Pengertian ini mengandung unsur bahwa; Sebab Utama, Wujud, Mencipta dan Sempurna. Jadi, Tuhan bagi al-Kindi adalah Dzat yang sempurna dan Dzat yang menciptakan segala wujud. Dzat sempurna yang wujud dengan sendirinya. Karena ada dengan sendirinya dan menciptakan segala wujud, maka Dzat tersebut tidak punya awal maupun akhir. Dengan demikian, maka Tuhan disebut sebagai “Sebab Pertama”.

Demikian juga Ibnu Sina, ia menegaskan sebagai “wajibul wujud”, Allah adalah Esa pada Dzat-Nya. Sebab jika lebih dari satu berarti ada sebab lain yang membuatnya demikian, dan ini mustahil. Juga, Allah adalah tunggal, tidak terdiri dari bagian-bagian. Karena, jika Dia demikian, kesempurnaan-Nya bergantung pada bagian-bagian-Nya, sehingga akan menafikan diri-Nya sebagai “wajibul wujud bidzathihi”.

Dalam hal ini, Ibnu Sina menyatakan, “…Dalam setiap wujud, apabila ia wajib, maka wajib al-wujud ialah dzat Allah yang Maha Benar yang wujud-Nya niscaya, karena dzat-Nya sendiri, Dia Maha Kuasa. (Al-Isyarat wa al-Tanbihat, hal. 267).

Hal ini juga ditegaskan oleh Mullasadra dalam al-Hikmah al-Muta’aliyah, bahwa Tuhan adalah Wajibul-Wujud. Dia adalah murni wujud (wujud mutlak) dan tidak ada wujud lebih sempurna dari pada-Nya, dan tidak menyertainya ketiadaan dan kekurangan. (Shadruddin as-Shirazi, al-Hikmah al-Muta’aliyah,  6/16).

Dari penjelasan para filosof Muslim di atas, maka dapat ditarik kesimpulan bahwa kesempurnaan Tuhan itu mutlak adanya. Karena Dia tidak ada yang menyerupai dan Dia berdiri sendiri serta tidak tergantung pada apapun.

Sebaliknya, sesuatu yang diciptakan Tuhan seperti alam, sifatnya tidak sempurna. Alam oleh para filosof didefinisikan sebagai segala sesuatu selain Tuhan, terdiri dari atom-atom dan aksiden-aksiden atau ‘ardl. Semua benda tersebut menurut al-Kindi mengalami perubahan keadaan yang bermacam-macam, entah itu yang berupa bentuk, warna, gerakan, bergantian, surut, dan perubahan-perubahan lainnya. Setiap aksiden hanya bisa bertahan sesaat, dan harus dicipta secara terus menerus oleh Tuhan yang menciptakan dan menghancurkan semuanya.

Dengan demikian, segala sesuatu yang diciptakan Tuhan adalah terbatas. Semua yang diciptakan Tuhan ialah huduth (baru) dan akan hancur, karena semua wujud yang diciptakan itu tentu masuk ke dalam keterhinggaan gerak, waktu, dan ruang (terbatas). Pendapat ini sebagai penolakan terhadap konsep apapun mengenai keabadian alam semesta, sebagaimana yang diyakini oleh Aristoteles dan para pengikutnya. (Majid Fakhri, A History Of Islamic Philosophy, hal. 137).

Itu artinya bahwa, kesempurnaan hanya milik Allah yang tidak akan dimiliki oleh ciptaan-Nya. *Bahrul Ulum/Suara Hidayatullah

Tulisan ini terbit di Majalah Suara Hidayatullah edisi Desember 2022

Related Articles

Stay Connected

0FansSuka
3,912PengikutMengikuti
22,000PelangganBerlangganan
- Advertisement -spot_img

Latest Articles