23.3 C
New York
Kamis, November 7, 2024

Buy now

spot_img

Baitul Maqdis: Satu Kota, Tiga Agama

Menguak rahasia tanah suci dan kesucian Baitul Maqdis.

Bagi sebagian besar manusia modern, gagasan mengenai kota suci seringkali menyajikan suatu kontradiksi terminologi.

Manusia masa kini terbiasa mempersepsikan kota sebagai wilayah tiada bertuhan, yang padat, riuh, kotor, dipenuhi dengan orang-orang yang kesepian dan tertepikan, dengan beraneka kekerasan dan kejahatan. Bagaimana mungkin kota yang seperti itu, yang terwarnai beragam aktivitas yang tidak suci, lantas bisa disebut sakral atau suci?

Bahkan ketika manusia modern merasa perlu akan penyegaran spiritual, kebanyakan memilih pergi ke pedesaan, ke suatu tempat yang indah dan damai. Di situ mereka bisa merasa lebih dekat dengan Tuhan.

Ternyata pengabdian atas kota-kota suci masih terus ada hingga kini. Misalnya, jamaah berbondong-bondong menuju Makkah dengan jumlah yang terus meningkat setiap tahunnya. Di tahun 1993, lebih dari satu juta peziarah Katolik Roma mengunjungi kuil Prancis di Lourdes, dimana Bunda Maria dipercaya pernah muncul berdekade lalu.

Mengapa mencari yang Kudus di Kota Suci? Lalu apa yang orang-orang maksudkan ketika mengatakan kota seperti Jerusalem adalah “suci” bagi mereka?

Pada awalnya, saya membayangkan bahwa kota suci biasa diasosiasikan dengan peristiwa-peristiwa krusial yang terjadi pada awal tradisi religius tertentu. Misalnya dalam kasus Jerusalem, pemikiran seperti ini terjadi pada kaum Kristiani, sebab di sanalah tempat Yesus dipercaya mati lantas bangkit dari kematian.

Akan tetapi, hal tersebut tidak cocok dengan penganut Yudaisme. Jerusalem tidak disebutkan secara eksplisit dalam Taurat, satu dari lima kitab suci yang ada di Alkitab Ibrani, dan tidak juga terkait dengan peristiwa eksodus dari Mesir. Lalu mengapa Bukit Sion Jerusalem menjadi tempat tersuci di dunia Yahudi, bukannya gunung Sinai dimana Tuhan memberi Musa wahyu dan mengikat dirinya kepada orang-orang pilihannya?

Selain itu, mengapa Jerusalem menjadi suci untuk umat Islam? Ketika peristiwa-peristiwa pembentukan iman terjadi jauh dari Arab, di Makkah dan Madinah, kota suci pertama dan kedua di dunia Islam.

Geografi Sakral

Tempat-tempat suci biasanya dikaitkan dengan peristiwa yang diberkati di masa lalu. Akan tetapi, pengabdian terhadap ruang atau wilayah sakral ialah hal tersendiri yang bisa ditelaah lebih dalam.

Lama sebelum manusia mulai memetakan dunia secara fisik dan ilmiah, mereka mengembangkan apa yang disebut geografi sakral. Yakni, situs-situs tertentu yang dirasakan lebih dekat dengan Yang Mahasuci dibandingkan lokasi yang lain. Biasanya ada sebuah fitur, misalnya batu atau air terjun, yang menonjol secara dramatis dibandingkan sekitarnya. Situs-situs tersebut dapat mengalihkan perhatian orang dan membawanya melampaui dimensi dunia lain.

Gunung merupakan simbol popular dari transendensi spiritual. Para penyembah memanjat ke puncak gunung yang disucikan, mereka ibarat sedang melakukan perjalanan simbolis menuju Sang Kudus. Di puncak gunung, di pertengahan antara langit dan bumi, mereka tidak lagi memikirkan perihal duniawi, kemudian membayangkan para dewa turun menemui mereka. Terkadang, apabila dikatakan bahwa dewa muncul di suatu tempat, maka tempat itu dapat diklaim sakral oleh orang yang melihatnya.

Sebuah wilayah suci adalah lokasi dimana orang mengalami hal terkait ketuhanan. Dalam usaha merasakan lebih pengalaman suci tersebut, orang-orang kemudian menggunakan musik dan ritual atau drama sakral. Bahkan dalam konteks yang sepenuhnya sekuler, teater dapat menghasilkan rasa transendensi yang kuat.

Harmoni

Menurut para sejarawan, ziarah dan pengabdian ke wilayah sakral mungkin adalah praktik keagamaan paling tua dan paling universal di dunia. Pengabdian terhadap tanah suci mungkin sudah tertanam berakar di jiwa manusia.

Ketika kaum Yahudi, Kristen, dan Muslim berdoa menghadap ke arah Jerusalem atau Makkah, mereka berpaling dari hal-hal pengganggu di kehidupan sehari hari. Mereka berusaha meletakkan sebuah perspektif baru dalam pikiran.

Bagi penganut Yahudi, Kristen, dan Islam, Jerusalem adalah sebuah tempat yang amat menentukan. Ini adalah tempat yang krusial bagi identitas ketiga agama Ibrahimiah tersebut. Mereka mengunjungi Jerusalem dalam rangka menemukan sumber eksistensi terdalam serta untuk memperoleh penyembuhan dan kedamaian.

Mitologi yang berhubungan dengan tempat-tempat suci sering terhubung dengan cerita-cerita masa keemasan, dimana dipercaya bahwa seluruh laki laki dan perempuan hidup harmonis dengan alam dan dewa-dewa. Mitos universal ini menggambarkan kedamaian dan keutuhan sebagai kondisi ideal manusia; menunjukkan kehidupan tidaklah dimaksudkan untuk pertentangan dan perpecahan. (Eliade, Patterns in Comparative Religion, 382-85).

Ketika kaum Yahudi, Kristen, dan Muslim mengatakan bahwa Jerusalem dan Makkah menempati posisi Taman Eden, ini adalah cara untuk mengatakan bahwa tempat yang paling sakral ini dapat menghasilkan rasa harmoni surgawi. Ketika mereka mengunjungi kota-kota suci ini, dalam waktu sesaat, keutuhan diri mereka merasa terpulihkan. Mereka merasa kembali kepada keharmonian dan kesatuan yang suci.

Gagasan pengembalian keutuhan yang sesungguhnya ini adalah elemen penting dalam pengalaman seorang Muslim yang dirasakan terkait kesucian Baitul Maqdis.*

*Diolah dari tulisan Karen Armstrong dalam Buku Emas Baitul Maqdis yang diterbitkan oleh Institut al-Aqsha untuk Riset Perdamaian (ISA), IslamicJerusalem Research Academy (ISRA), dan Sahabat al-Aqsha/Suara Hidayatullah

Tulisan ini terbit di Majalah Suara Hidayatullah edisi Februari 2022.

Related Articles

Stay Connected

0FansSuka
3,912PengikutMengikuti
22,100PelangganBerlangganan
- Advertisement -spot_img

Latest Articles