18.2 C
New York
Minggu, Mei 25, 2025

Buy now

spot_img

Bahagia Usai Meninggalkan Riba

Aku adalah seorang lulusan sarjana hukum bisnis syariah tahun 2015 dari sebuah universitas di Madura, Jawa Timur. Sebagaimana teman-teman satu jurusan, aku tertarik bekerja di sebuah lembaga keuangan syariah yang cukup terkenal di sana.

Lembaga tersebut menjadi salah satu tujuan pekerjaan favorit bagi teman-teman satu jurusan. Bahkan menjadi incaran, karena dianggap menguntungkan. Apalagi berlabel syariah. Tentu menjadi daya tarik bagi masyarakat umum, karena dinilai sesuai dengan akad dalam syariat Islam. Aku pun mulai mencoba mengirim surat lamaran pada tahun 2017 dan langsung diterima.

Tetapi baru beberapa hari berjalan, aku merasa tidak nyaman dengan tugas-tugas pekerjaanku. Beberapa hal membuatku merasa pekerjaan itu tidak sesuai dengan konsep syariah sebagaimana yang pernah aku pelajari di kampus.

Sebagai customer service sekaligus marketing, aku harus mengejar target tertentu seperti mencari nasabah dengan jumlah tertentu, termasuk mengurus motor para kreditur. Selain itu adanya akad setiap pinjaman nominal tertentu, ada biaya lebih yang harus dibayarkan oleh peminjam.

Memang gaji yang dijanjikan saat itu amat menggiurkan, tetapi aku tidak tertarik karena selalu merasa berdosa. Aku sangat ingin keluar, karena takut dosa. Lebih takut lagi, karena sudah banyak yang kuajak ikut menjadi nasabah dengan embel-embel syariah.

Dalam sebuah Hadits, Rasulullah ﷺ telah mengabarkan dosa bagi para pelaku riba. Sebagaimana diriwayatkan Jabir RA, Rasulullah ﷺ berkata, “Mengutuk orang yang memakan harta riba, yang memberi riba, penulis transaksi riba, serta kedua saksi transaksi riba. Mereka semuanya sama (berdosa).” (HR Muslim).

Itulah yang membuatku berani membulatkan tekad untuk berhenti dari pekerjaan ini. Tapi, keputusanku bertepuk sebelah tangan dengan keluarga, terutama ibuku. Beliau menetang keputusan itu karena menggangap pekerjaanku ini sudah bagus, karena bisa mencukupi kehidupanku.

Namun, aku terus berdoa sambil berusaha meyakinkan ibuku untuk menerima keputusanku serta mencari alasan untuk mengundurkan diri.

Seiring waktu, Allah SWT pun memberikan jalan. Dengan alasan tidak tercapainya target, bos menerima keputusanku mengundurkan diri. Walaupun banyak teman satu pekerjaan yang berniat membantuku untuk mencapai target, tetap saja tidak menarik Aku pun tetap kekeh untuk mengundurkan diri. Begitu pun dengan ibuku, awalnya berat namun akhirnya menerima keputusanku.

Usai resign aku menjadi pengangguran. Aku isi hari-hariku dengan mengajar ngaji, diniyah sore, dan membantu ibu jualan di rumah. Ayahku meninggal sewaktu aku masih di gendongan. Sejak itulah aku hidup bersama ibu tanpa pernah merasakan langsung asuhan ayahku.

Semua saudara memang berharap aku bisa membersamai ibu di rumah. Apalagi mereka sudah berumah tangga dan tinggal di kediaman masing-masing.

Tapi tak lama, aku mulai merasa galau. Terlintas dalam pikiran, ada kerabat yang punya pondok pesantren di Singosari, Malang. Aku berpikir untuk menenangkan diri di sana, tepatnya momen bulan Ramadhan tahun 2018. Atas izin ibu, lalu aku berangkat ke sana dengan harapan bisa lebih bermuhasabah diri.

Alhamdulillah, aku merasa lebih bahagia di pondok itu, karena bisa dekat dengan anak-anak yatim dhuafa, dan bisa mengasihi mereka secara langsung. Harapanku, nanti saat di akhirat aku bisa bertetangga dengan Rasulullah sesuai Hadits beliau.

“Aku beserta orang yang mengasuh atau memelihara anak yatim akan berada di surga begini. Lalu, beliau mengisyaratkan dengan jari telunjuk dan jari tengahnya, serta merenggangkannya sedikit.” (HR Bukhari, Tirmidzi, Abu Daud, serta Ahmad dari Sahl bin Sa’d).

Niat yang awalnya hanya selama Ramadhan, tetapi ternyata berlanjut hingga saat ini. Menariknya, di pondok tersebut aku dipertemukan oleh Allah dengan seorang perempuan yang kini menjadi istriku. Kami pun sama-sama mendapatkan jadwal untuk mengajar para santri.
Selain itu, aku juga merasa keberkahan berupa rezeki dari arah yang tak disangka-sangka. Aku bersama istri diumrahkan almarhum ayah dari adik ipar istriku pada Januari 2020 lalu.

Pada waktu dimana tidak semua orang memperoleh kesempatan langka tersebut. Pasalnya, waktu itu adalah saat-saat mulainya wabah virus Covid-19. Namun, atas izin Allah Ta’ala, aku mendapat panggilan mulia untuk beribadah umrah di waktu yang tidak disangka-sangka.

MashaAllah, Allah sebaik-baik pengatur kehidupan. Benar Allah akan memberikan jalan kebaikan bagi hamba-hamba yang berupaya tetap di jalan meraih ridha-Nya. Keputusan keluar dari pekerjaan itu mendatangkan keberkahan di dalam hidupku.

Aku merasa lebih tenang, bahagia, serta dimudahkan Allah dalam setiap hajatku. Alhamdulillah, hajatku mendapat istri shalihah, tempat tinggal yang nyaman, dan keturunan yang sehat, Allah SWT kabulkan.

“Dan di antara tanda-tanda (kebesaran)-Nya ialah Dia menciptakan pasangan-pasangan untukmu dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung serta merasa tenteram kepadanya, dan Dia menjadikan di antaramu rasa kasih serta sayang. Sungguh pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda (kebesaran Allah) bagi kaum yang berpikir.” (QS. ar-Rum [30]: 21).

Dengan memegang teguh prinsip, yakni memilih terhindar dari riba, membuatku merasa selalu dibukakan jalan atas tiap kesulitan dalam hidupku. Gapailah ridha-Nya, maka tunai-lah kebahagiaan yang haq. Semoga Allah istiqamahkan kami di jalan yang diridhai. Semoga pengalaman hidup yang berharga ini dapat menjadi pelajaran bagi kita semua. Aamiin.

*Seperti yang dikisahkan Rachmad dan dituliskan Naila untuk Suara Hidayatullah
Tulisan ini terbit di Majalah Suara Hidayatullah edisi Januari 2022.

Related Articles

Stay Connected

0FansSuka
3,912PengikutMengikuti
22,300PelangganBerlangganan
- Advertisement -spot_img

Latest Articles