Tak semua bagian tubuh wanita boleh dilihat pria. Mengapa?
Mungkin banyak dari kita yang pernah mendapati akhwat (perempuan) mudah sekali memperlihatkan aurat, khususnya rambut. Jika ia masih dalam tahap mempelajari agama, apalagi untuk yang masuk Islam belum lama, kita bisa memakluminya. Namun bagaimana jika ini terjadi pada seorang akhwat yang berstatus sebagai Selegram atau Influencer? Apalagi jika ia telah memahami ajaran Islam mengenai aurat?
Persoalan menutup aurat sebenarnya bukan hal sepele dalam Islam. Apalagi ini merupakan perintah langsung dari Allah SWT kepada perempuan untuk melindungi diri mereka dari segala pandangan yang merendahkan maupun gangguan lain dari para lelaki yang bukan mahram.
“Hai Nabi, katakanlah kepada istri-istrimu, anak perempuan, dan perempuan-perempuan mukmin agar mereka mengulurkan jilbabnya. Dengan demikian mereka lebih mudah dikenal dan mereka tidak akan diganggu. Dan Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (al-Ahdzab: 59).
Ada persoalan yang dihadapi oleh seorang aktivis organisasi mahasiswa Islam. Ia ditugaskan oleh kampus untuk melakukan Kuliah Kerja Nyata (KKN) di sebuah daerah bersama dengan mahasiswa/i lainnya. Di antara mereka ada perempuan yang tidak non Muslim. Bagaimana hukumnya jika ia membuka aurat di hadapan temannya yang bukan Islam tersebut?
Persoalan aurat sudah Allah SWT atur dalam al-Qur`an. Sebabnya pada waktu itu aurat Saudah, salah satu istri Rasulullah SAW nampak dalam penglihatan Umar. Akhirnya turunlah perintah berhijab untuk Muslimah, khususnya para istri Rasulullah SAW.
Perintah berhijab kemudian disusul dengan kategori siapa saja yang boleh melihat aurat perempuan (Surat An-Nur ayat 31). Dalam kategori tersebut, tidak disebutkan perempuan non Muslim boleh melihat aurat Muslimah.
“Dan hendaklah mereka menutupkan kain kudung ke dadanya, dan janganlah menampakkan perhiasannya kecuali kepada suami mereka, atau ayah mereka, atau ayah suami mereka, atau putera-putera mereka, atau putera-putera suami mereka, atau saudara-saudara laki-laki mereka, atau putera-putera saudara lelaki mereka, atau putera-putera saudara perempuan mereka, atau wanita-wanita islam, atau budak-budak yang mereka miliki, atau pelayan-pelayan laki-laki yang tidak mempunyai keinginan (terhadap wanita) atau anak-anak yang belum mengerti tentang aurat wanita.” (An-Nur: 31).
Ini artinya Islam sangat berhati-hati menjaga aurat para Muslimah agar mereka terhindar dari segala fitnah. Perintah menutup aurat termasuk melindungi Muslimah.
Hijab sendiri menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) artinya dinding yang membatasi sesuatu dengan yang lain. Ia juga dimaknai kain yang digunakan untuk menutupi muka dan tubuh wanita Muslim sehingga bagian tubuhnya tidak terlihat.
Pakar tafsir al-Qurthubi, sebagaimana dilansir dari tebuireng.online, menerangkan dalam tafsirnya bahwa sahabat Ibn Mas’ud memahami makna hijab sebagai pakaian.
Said bin Jubair, Atha, dan al-Auzai berpendapat bahwa yang boleh dilihat atau terbuka adalah wajah perempuan dan kedua telapak tangan saja, di samping busana yang dipakainya.
Sahabat Ibn Abbas, Qatadah, dan Miswar bin Makhzamah berpendapat bahwa yang boleh dilihat termasuk celak mata, gelang, dan setengah dari tangan.
Begitupun dalam sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Ibn Jarir at Thabari. Beliau meriwayatkan hadits melalui Qatadah yang intinya membolehkan menampakkan wajah dan tangan. Nabi Saw. bersabda:
“Tidak halal bagi perempuan yang beriman kepada Allah dan hari akhir, dan telah haid untuk menampakkan kecuali wajahnya dan tangannya sampai di sini (lalu beliau memegang setengah tangan beliau)”.
Berdasarkan paparan di atas, terdapat berbagai macam ikhtilaf (perbedaan ulama) dalam menyikapi batasan aurat wanita. Ada yang menyatakan aurat wanita seluruh badan, sedangkan pendapat yang lain mengecualikan wajah dan telapak tangan.
Kitab al Fiqh al Islami wa Adilatuhu karya syaikh Wahbah Zuhaili, menyimpulkan pendapat para ulama empat madzhab mengenai batasan aurat sebagai berikut:
Pertama, menurut madzhab Hanafi. Aurat perempuan merdeka dan yang sesamanya adalah seluruh badan sampai rambutnya yang turun kecuali wajah, telapak tangan, dan telapak kaki baik bagian dalam maupun luar menurut pendapat al mu’tamad (pendapat para ulama yang diakui keilmuannya) karena keumuman dari keperluan yang mendesak/darurat.
Kedua, menurut madzhab Maliki. Aurat (yang dinisbatkan dari segi melihatnya) bagi wanita di hadapan lelaki lain ialah seluruh badan selain wajah dan telapak tangan. Sedangkan di hadapan mahramnya seluruh badan selain wajah dan anggota-anggota seperti kepala, leher, kedua tangan, dan kedua kaki kecuali jika ditakutkan maka hal tersebut haram, bukan karena keadaannya sebagai aurat.
Ketiga, menurut madzhab Syafii. Seluruh badan selain wajah dan telapak tangan baik bagian luar maupun dalam dari ujung-ujung jari sampai pergelangan tangan berdasarkan firman-Nya: wa laa yubdiina zinataahunna illa maa dhahara minhaa.
Keempat, madzhab Hambali. Aurat wanita beserta para mahramnya laki-laki adalah selain badannya, selain muka, tengkuk, dua tangan, kaki dan betis. Semua badan wanita sampai muka dan kedua tapak tangan diluar shalat adalah aurat, sebagaimana kata Asy Syafii berdasarkan sabda Nabi saw. yang telah lalu wanita adalah aurat. Dan diperbolehkan membuka aurat karena keperluan seperti, berobat, berhajat di tempat yang sunyi, khitan, mengetahui masa baligh, cacat, perawan dan tidaknya.
Aurat wanita Muslim di hadapan wanita kafir, menurut madzhab Hambali adalah seperti di hadapan laki-laki mahram, yaitu anggota badan yang ada di antara pusat dan lutut. Jumhur (sebagian besar ulama) berpendapat bahwa seluruh badan wanita itu aurat, kecuali apa yang nampak pada waktu melakukan kesibukan-kesibukan rumah (tebuireng.online).
Namun kalau bukan dalam kondisi darurat, misalnya pergi ke dokter dan ia terpaksa harus membuka aurat, maka Muslimah wajib memeriksakan dirinya ke dokter Muslimah juga, kecuali jika memang di tempat tinggalnya tidak ada sama sekali atau bukan dalam kondisi terpaksa.
Jika ada seorang akhwat yang begitu mudahnya pamer aurat dan tidak diingatkan orang-orang terdekat, maka kelak suaminya atau orangtuanyalah yang akan mempertanggugjawabkan di akhirat. Oleh karenanya jangan mudah pamer aurat karena tanggungjawabnya berat.
Penulis: Sarah Mantovani (aktivis Muslimah)
*Artikel ini telah terbit di Majalah Suara Hidayatullah edisi Februari 2020.