Hidayah adalah nikmat terbesar yang dimiliki manusia. Hidup jadi bermakna karena ada hidayah atau iman.
Selain itu, ada nikmat ukhuwah (persaudaraan) yang berlandaskan keyakinan yang sama kepada Allah SWT, Sang Pencipta. Ada yang mengatakan bahwa tak ada hidayah tanpa ukhuwah. Sebagaimana bukan ukhuwah jika didasari selain ikatan iman.
Itulah hubungan erat antara hidayah dan ukhuwah. Keduanya beririsan dan saling menguatkan. Bukan hanya berkaitan dengan fitrah manusia sebagai makhluk sosial, tapi juga kebutuhan iman yang mutlak dirawat dengan hidup berjamaah.
Hidayah dan ukhuwah adalah tuntutan yang tak bisa ditawar. Setiap orang membutuhkan bantuan saudaranya untuk saling menguatkan dalam nasihat kebaikan dan kesabaran.
“Demi masa. Sesungguhnya manusia itu benar-benar dalam kerugian. Kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal shalih dan nasihat-menasihati supaya mentaati kebenaran dan nasihat-menasihati supaya menetapi kesabaran.” (al-Ashr [103]: 1-3).
Nabi Muhammad SAW juga mengingatkan, dalam urusan perjalanan sekalipun, kepemimpinan dan hidup berjamaah itu tetap perlu dihadirkan. Beliau bersabda, “Jika ada tiga orang bepergian, hendaknya mereka mengangkat salah seorang di antara mereka menjadi pemimpinnya.” (Riwayat Abu Daud).
Mengapa? Tak lain karena ujian kehidupan ini begitu berat. Butuh ekstra hati-hati dalam menyikapi ilusi perkataan-perkataan indah (zukhruf al-qaul) yang kerap dibisikkan oleh setan dan yang sering dimenangkan oleh hawa nafsu.
“Dan demikianlah Kami jadikan bagi tiap-tiap Nabi itu musuh, yaitu setan-setan (dari jenis) manusia dan (dari jenis) jin, sebagian mereka membisikkan kepada sebagian yang lain perkataan-perkataan yang indah-indah untuk menipu (manusia). Jikalau Tuhanmu menghendaki, niscaya mereka tidak mengerjakannya, maka tinggalkanlah mereka dan apa yang mereka ada-adakan.” (al-An’am [6]: 112).
Mengutamakan Musyawarah
Selain rayuan tipu daya yang sanggup mengendurkan kekuatan iman, ada kalanya setan menakut-nakuti dengan bayangan-bayangan yang mengkhawatirkan lagi mengerikan di masa depan. Itu sebabnya, seorang Mukmin senantiasa dipersaudarakan dengan sesama orang beriman.
Dari sini akan lahir giat silaturahim dan upaya saling mendoakan sebagai wadah dalam menyelesaikan persoalan kehidupan. Sekali lagi, setan tidak mungkin diam melihat para pejuang dakwah terus berjibaku di tengah masyarakat. Mereka hampir pasti menjadi most enemy (musuh utama) dan most wanted (target utama).
Kelicikan dan kelihaian setan tak perlu diragukan lagi. Tak ada waktu yang berlalu kecuali tempo juang mereka terus meninggi. Apalagi sejak awal setan memang sudah dikenal sangat licik dan jahat.
Selanjutnya, jati diri pendakwah adalah senantiasa bermusyawarah, sebagai bagian dari perintah Allah SWT dan Rasul-Nya yang harus ditunaikan. Dakwah bukanlah perkara pribadi atau individual semata, tapi merupakan manifestasi iman yang produktif dan ilmu yang bermanfaat. Dakwah ialah buah keterpanggilan iman yang melahirkan kepekaan dan kepedulian dalam mengurus umat.
“Maka disebabkan rahmat dari Allah-lah kamu berlaku lemah lembut terhadap mereka. Sekiranya kamu bersikap keras lagi berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu. Karena itu maafkanlah mereka, mohonkanlah ampun bagi mereka, dan bermusyawarahlah dengan mereka dalam urusan itu. Kemudian apabila kamu telah membulatkan tekad, maka bertawakkallah kepada Allah. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertawakkal kepada-Nya.” (Ali Imran [3]: 159).
Kewaspadaan di atas hendaknya dibarengi dengan peningkatan skala prioritas berupa ibadah dan spirit al-Qur’an. Setidaknya indikator utamanya ialah tegaknya pelaksanaan shalat berjamaah lima waktu di masjid dan membiasakan tilawah al-Qur’an atau berzikir. Selain mempertajam aqidah, keduanya merupakan benteng perlindungan dan pertahanan dari gangguan setan yang terus menggoda perjuangan.
Hidup Berjamaah
Rutinitas dakwah terkadang menyisakan kepenatan yang luar biasa. Persoalan di lapangan kadang sampai berimbas kepada persoalan pribadi dan keluarga. Apalagi di tengah kesibukan dan urusan yang begitu padat. Terkadang tanpa sadar, memberi peluang setan masuk menggerogoti kekuatan jiwa atau ruhani seorang Muslim.
Jika hal itu terjadi, berarti alamat perjuangan dakwah ini akan mengalami kendala. Sebab dakwah tak hanya sekadar bicara di podium saja, tapi juga menuntut keteladanan sang juru dakwah.
Perlu dipahami, kewaspadaan menghadapi bisikan setan mutlak ditempatkan pada skala prioritas. Apa artinya segala kemajuan dan kesuksesan jika pada akhirnya setan ikut memainkan peranan dalam memberi ide dan inspirasi kepada kita? Di sinilah peran kontrol lingkungan dan kehidupan berjamaah.
Kehidupan berjamaah setiap waktu bisa mengontrol pelaksanaan syariat atau implementasi al-Qur’an pada setiap individu. Ibadah nawafil (sunnah) bukan lagi sebagai pelengkap ibadah wajib. Juga tidak berarti boleh ditinggalkan atau diabaikan tanpa alasan. Semuanya merupakan satu kesatuan utuh, saling berkaitan dan tidak boleh terlalaikan.
Bagaimana jika bisikan setan berhasil mengelabui orang beriman dalam urusan dakwahnya? Program-program akan mengalami bias dan pergeseran orientasi di tengah jalan. Sepintas, apa yang ditekuni tampak sama dengan yang lain, namun sejatinya sangat kontras dengan tujuan yang ingin dicapai.
Dampak selanjutnya adalah kerja jadi tidak efektif dan efisien. Pekerjaan yang nota bene berkaitan dengan keumatan itu sudah pasti menyita banyak tenaga, pikiran, hingga biaya besar. Namun karena tidak efisien, maka seseorang jadi kehilangan segalanya. Waktu yang mahal dan kesempatan yang begitu berharga seketika sirna tak berbekas. Jatah umur semakin berkurang, namun ia mengalami kerugian besar dan kepahitan hidup.*
Tulisan ini terbit di Majalah Suara Hidayatullah edisi Februari 2022.