ما مِن ذنبٍ أجدرُ أن يُعجِّلَ اللهُ لصاحبِه العقوبةَ في الدُّنيا مع ما يَدَّخرُ لهُ في الآخرةِ من البَغي وقطيعةِ الرَّحمِ
“Tidak ada suatu dosa yang lebih pantas untuk disegerakan balasannya bagi para pelakunya di dunia ini daripada perbuatan zhalim (melampaui batas) dan memutuskan tali silaturahmi.” (HR Abu Daud, at-Tirmidzi, dan Ibnu Majah).
Muqadimah
Renggangnya hubungan silaturahmi antar keluarga, teman, dengan saudara telah banyak terjadi di kehidupan masyarakat. Ironisnya, hal tersebut dipicu oleh persoalan sepele seperti malas ataupun tak punya waktu. Padahal jarak bukan lagi jadi halangan sebab tranportasi dan komunikasi mudah dilakukan.
Tampaknya pola kehidupan individual yang menerpa hampir semua lapisan masyarakat telah memicu orang tidak lagi memperhatikan hak keluarga yang satu ini.
Tentu, sebagai orang beriman, kita memiliki tanggung jawab mengantisipasi persoalan satu ini dengan cepat, agar keharmonisan hubungan tetap terjaga dengan baik. Semua anggota keluarga harus sadar bahwa menjunjung tinggi tali silaturahmi sangat ditekankan oleh syariat Islam.
Makna Hadist
Hadits di atas merupakan ancaman bagi siapa saja yang senang memutus tali silaturahmi. Dan mengingat pentingnya silaturahmi, maka ketidakpedulian terhadap masalah itu termasuk perbuatan yang tercela. Bahkan Islam tegas mengancam mereka yang sengaja memutuskan tali silaturahmi.
Orang yang sengaja melakukan hal itu, berarti telah berbuat dosa besar. Para ulama sepakat hukum memutuskan tali silaturahmi adalah haram. Pelakunya terancam disegerakan hukumannya di dunia dan kelak di akhirat dimasukkan ke dalam neraka.
Berkaitan dengan hukuman di akhirat, diriwayatkan oleh Jubair bin Muth’im r.a, ia berkata: Rasulullah SAW bersabda, “Tidak akan masuk surga seorang pemutus, yaitu pemutus tali silaturahmi.” (HR Bukhari dan Muslim).
Karena masalah ini penting, orang yang sengaja memutuskan tali silaturahmi akan memperoleh laknat dari-Nya. Dalam al-Qur’an, Allah berfirman, ”Maka apakah kiranya jika kamu berkuasa kamu akan membuat kerusakan di muka bumi dan memutuskan hubungan kekeluargaan. Mereka itulah orang-orang yang dilaknati Allah dan ditulikan-Nya telinga mereka, serta dibutakan-Nya penglihatan mereka.” (QS. Muhammad [47]: 22-23).
Selain itu, doanya juga tidak dikabulkan oleh Allah. “Tidaklah seorang Muslim memanjatkan doa kepada Allah Ta’ala selama tidak mengandung dosa serta memutuskan silaturahmi melainkan Allah akan memberi kepadanya tiga hal: [1] Allah akan segera mengabulkan doanya, [2] Allah akan menyimpannya baginya di akhirat kelak, dan [3] Allah akan menghindarkan darinya kejelekan yang semisalnya.” Para Sahabat lantas mengatakan, “Kalau begitu kami akan memperbanyak doa.” Nabi SAW bersabda, “Allah nanti yang memperbanyak mengabulkan doa-doa kalian”.” (HR. Ahmad).
Bila dalam suatu kaum terdapat orang yang memutus tali silaturahmi, maka kaum tersebut tidak akan mendapat rahmat dari Allah SWT. Rasulullah SAW bersabda, “Rahmat tidak akan turun kepada kaum yang padanya terdapat orang yang memutuskan tali silaturahmi.” (HR. Muslim).
Bahkan sebagian ulama berpendapat, bahwa seorang yang memutuskan tali silaturahmi berarti ia telah melakukan kejahatan terbesar setelah kejahatan meninggalkan shalat.
Cara Menyambung Tali Silaturahmi
Adapun cara menyambung tali silaturahmi yang dianjurkan, adalah dengan melakukan kunjungan, memberi sesuatu, mempersembahkan hadiah, atau meridhai saudaranya.
Imam Ibnul-Atsir menurut ibnu Manzhur menjelaskan, silaturahmi dapat dilakukan dengan berbuat baik kepada kerabat karena hubungan senasab atau pernikahan, berlemah lembut, menyayangi, memperhatikan keadaan mereka, meskipun mereka jauh dan berbuat jahat. (Lisanul ‘Arab, XV/318).
Rasulullah SAW menegaskan bahwa merajut hubungan silaturahmi termasuk perbuatan mulia. Orang yang senang melakukan hal itu akan dimudahkan oleh Allah SWT untuk masuk surga.
Dari Abu Ayyub al-Anshari bahwa seorang pria berkata, “Wahai Rasulullah, beritahukan kepadaku perbuatan yang dapat memasukkanku dalam surga.” Nabi SAW menjawab, “Engkau menyembah Allah dan tak menyekutukannya dengan sesuatu pun, mendirikan shalat, membayar zakat, dan menyambung tali silaturahmi.” (HR Bukhari dan Muslim).
Hadits ini menjelaskan bahwa memulai menyambung silaturahmi, termasuk kepada mereka yang suka memutuskankannya, ialah perbuatan yang mulia. Bahkan kepada orang seperti ini termasuk amal shalih yang pahalanya besar dan sebagai tanda kesempurnaan iman.
Rasulullah SAW merupakan orang yang paling suka menyambung silaturahmi dengan orang yang memusuhinya. Setelah fathul Makkah, putra pamannya, Abu Sufyan bin al-Harits membawa anak-anaknya dan keluar menuju padang pasir karena ia telah menyakiti, memerangi, dan mencaci Rasulullah.
Para Sahabat bertanya, “Hendak ke mana engkau, wahai Abu Sufyan?” Dia menjawab, “Aku akan pergi bersama anak-anakku. Biarlah aku mati bersama mereka karena kelaparan, kehausan, dan tidak berpakaian di padang pasir.”
Para Sahabat lalu berkata, “Kembalilah kepada Rasulullah dan katakanlah kepadanya sebagaimana yang dikatakan saudara-saudara Yusuf kepadanya sebagaimana termaktub dalam al-Qur’an, “Demi Allah, sesungguhnya Allah telah melebihkan kamu atas kami, dan sesungguhnya kami adalah orang-orang yang bersalah (berdosa).” (QS. Yusuf [12]: 91).
Maka Abu Sufyan datang dengan anak-anaknya untuk menghadap Rasulullah SAW sambil mengutip ayat yang diajarkan Sahabat tersebut. Mendengar hal itu, menangislah Rasulullah dan beliau menyebutkan firman Allah, “Pada hari ini tidak ada cercaan terhadap kalian. Mudah-mudahan Allah mengampuni [kalian], dan Dia adalah Maha Penyayang di antara para penyayang.” (QS. Yusuf [12]: 92).” (HR. Bukhari dan Muslim, serta lainnya).
Pada bulan Syawal, yang bisa disebut sebagai bulan silaturahmi, marilah kita memanfaatkannya buat merajut dan menyambung kembali tali silatrurahim kepada keluarga dan kerabat yang mungkin renggang atau bahkan terputus.
Penulis: Bahrul Ulum/Suara Hidayatullah
Tulisan ini terbit di Majalah Suara Hidayatullah edisi April 2022