Begitu nyawa dicabut, terhentilah semua amal-amal kita. Begitu maut menjemput, terputuslah perjalanan amal kita. Tak ada lagi pahala yang dapat kita harap. Tak ada pula kebaikan mengalir yang bisa kita nantikan, kecuali tiga hal saja, yakni shadaqah jariyah, ilmu manfaat dan anak-anak shalih yang mendoakan.
Dari Abu Hurairah RA, Rasulullah SAW bersabda, “Jika manusia mati, maka terputuslah amalnya kecuali tiga perkara, sedekah jariyah, ilmu yang diambil manfaatnya, dan anak shalih yang mendoakan orangtuanya.” (Riwayat Muslim).
Apakah yang dimaksud dengan shadaqah jariyah? Imam Nawawi rahimahuLlah menyatakan bahwa yang dimaksud adalah waqaf. Bermakna berhenti, waqaf adalah harta yang kita hentikan peruntukannya semata-mata untuk Allah SWT, mempergunakannya di jalan Allah SWT dan tidak terdapat kemungkinan untuk kita alihkan kepada kepentingan-kepentingan pribadi, keluarga atau lainnya di luar kepentingannya di jalan Allah SWT.
Bentuk shadaqah jariyah bermacam-macam, tidak hanya berupa masjid atau bangunan pondok pesantren. Segala yang kita keluarkan biaya untuknya, atau kita upayakan dengan kekuatan kita sehingga manfaatnya dapat dipetik terus menerus, maka ia menjadi shadaqah jariyah.
Adapun berkait dengan anak yang terus mengalirkan pahala bagi kita, kriteria paling pokok ialah keshalihannya. Bukan doanya. Bukan berarti doa anak tidak penting, tetapi yang paling mendasar ialah keshalihannya. Maka yang kita harap ialah anak-anak shalih yang mendoakan. Bukan sekedar anak yang mendoakan.
Dari Abu Hurairah RA, Nabi SAW bersabda:
إِنَّ مِمَّا يَلْحَقُ الْمُؤْمِنَ مِنْ عَمَلِهِ وَحَسَنَاتِهِ بَعْدَ مَوْتِهِ عِلْمًا عَلَّمَهُ وَنَشَرَهُ وَوَلَدًا صَالِحًا تَرَكَهُ وَمُصْحَفًا وَرَّثَهُ أَوْ مَسْجِدًا بَنَاهُ أَوْ بَيْتًا لِابْنِ السَّبِيلِ بَنَاهُ أَوْ نَهْرًا أَجْرَاهُ أَوْ صَدَقَةً أَخْرَجَهَا مِنْ مَالِهِ فِي صِحَّتِهِ وَحَيَاتِهِ يَلْحَقُهُ مِنْ بَعْدِ مَوْتِهِ
“Sesungguhnya yang didapati oleh orang yang beriman dari amalan dan kebaikannya setelah ia mati adalah, ilmu yang ia ajarkan dan sebarkan, anak shalih yang ia tinggalkan, mushaf al-Qur’an yang ia wariskan, masjid yang ia bangun, rumah bagi ibnu sabil (musafir yang terputus perjalanan) yang ia bangun, sungai yang ia alirkan, sedekah yang ia keluarkan dari harta ketika ia sehat dan hidup, semua itu akan dikaitkan dengannya setelah ia mati.” (Riwayat Ibnu Majah dan Baihaqi).
Apa pelajaran dari hadits ini? Banyak. Tetapi mari kita perhatikan sejenak yang kaitannya dengan anak. Rasulullah SAW menyebutkan bahwa sesungguhnya yang didapati orang beriman dari amalan dan kebaikannya sesudah mati, salah satunya adalah anak shalih yang ia tinggalkan (وَلَدًا صَالِحًا تَرَكَهُ). Berbekal shalihnya mereka yang tumbuh dari hasil didikan dan upaya kita, melalui doa maupun kesungguhan mengirimkan anak-anak kepada guru yang baik, maka mereka menjadi sebab terus mengalirnya kebaikan buat kita. Bahkan di saat mereka lupa mendoakan kita.
Maka keshalihan itulah yang pertama kali perlu menjadi perhatian kita. Jika iman melekat serta ketaatan tertanam dan pada saat yang sama mereka terjauhkan dari segala perusak iman, maka tangan mereka akan mudah menadah untuk mendoakan kita. Mereka mengangkat tangannya di ujung malam untuk berdoa memohonkan ampunan serta kasih-sayang bagi kita sesudah kita tak lagi menjadi penduduk bumi. Bahkan andaikata mereka lalai mendoakan, setiap amal shalih yang kita turut berperan mendidikkannya akan mengalirkan pahala besar buat kita. Bukankah seseorang yang mengajarkan satu kebaikan akan memperoleh kebaikan yang sama setiap kali kebaikan itu dikerjakan tanpa mengurangi pahala orang yang mengerjakannya?
Nah. Maka ingatlah dengan sepenuh keinginan salah satu kebaikan yang tetap ditautkan kepada seseorang sesudah mati, salah satunya adalah وَلَدًا صَالِحًا تَرَكَهُ (anak shalih yang ia tinggalkan). Ini berarti, kita perlu mengingat tentang apa saja yang mutlak kita bekalkan kepada anak.
Pertama, tiap-tiap anak harus memiliki ilmu yang berkedudukan fardhu ‘ain bagi setiap Muslim. Tak peduli apa bakatnya, ilmu-ilmu fardhu ‘ain harus kita bekalkan kepada setiap anak yang di masa dewasanya kelak akan dihisab amalnya. Sejauh anak itu normal kapasitas akalnya, maka ilmu-ilmu fardhu ‘ain harus mereka miliki. Tanpa ilmu, maka keimanan itu tidak dapat diwujudkan dengan lurus dan tidak dapat diamalkan dengan benar.
Kedua, kita bekali mereka dengan ilmu dan keterampilan yang termasuk bagian dari fardhu kifayah seraya menyiapkan mereka untuk menyadari tanggung-jawabnya menolong agama Allah ‘Azza wa Jalla. Sesungguhnya setiap Muslim tanpa kecuali, termasuk anak kita, memiliki tanggung-jawab menjaga agama ini. Ibarat pos penjagaan, setiap kita tanpa dapat kita wakilkan kepada siapa pun bertanggung-jawab untuk menjaga pos kita masing-masing sesuai dengan apa yang Allah ‘Azza wa Jalla amanahkan kepada kita. Apa pun pekerjaan dan keterampilan kita, maka di sana ada amanah untuk menjadikannya sebagai jalan menolong agama Allah ‘Azza wa Jalla melalui pintu itu.
Jalan untuk menguasai keduanya ialah dengan menumbuhkan kesungguhan berpayah-payah terhadap segala yang bermanfaat (hirsh ‘alaa manfa’ah), mengasah dorongan untuk mengingini kebaikan seraya senantiasa berkemauan melakukan berbagai kebaikan (iradah ilal khair), tidak merasa lemah atau sial dengan keadaan (‘ajiz) dan menyandarkan pertolongan seraya memintanya dengan sungguh-sungguh hanya kepada Allah SWT. Pada saat yang sama, anak-anak dididik untuk menjauhi berandai-andai dengan masa lalu karena menyesali apa yang telah lewat, sebab kata lau (seandainya) untuk sesuatu yang telah berlalu merupakan pintu masuknya setan.
Kita juga perlu menjaga himmah (passion, keinginan kuat) mereka agar segala yang mereka kerjakan adalah untuk mengejar akhirat. Bukan dunia. Mereka boleh berbisnis, memiliki perusahaan atau bekerja bersama orang lain. Tetapi semua itu merupakan bagian dari himmahnya terhadap akhirat.
Rasulullah Muhammad SAW bersabda, “Barangsiapa yang kehidupan akhirat menjadi himmah-nya (passion, keinginan kuat), maka Allah akan memberi rasa cukup dalam hatinya, menyatukan urusannya yang berserakan dan dunia datang kepadanya tanpa dia cari. Dan barangsiapa yang dunia merupakan himmah-nya (passion, keinginan kuat), maka Allah akan jadikan kemiskinan selalu membayang-bayangi di antara kedua matanya, mencerai-beraikan urusannya dan dunia tidak akan datang kepadanya kecuali sekedar apa yang telah ditentukan baginya.” (Riwayat Tirmidzi).
Ini penting untuk kita perhatikan pada anak-anak kita. Karena begitu dunia yang menjadi himmahnya, ibadah maupun amal akhirat pun dalam rangka meraih dunia. Boleh jadi mereka tampak shalih, tetapi tak ada kebaikan yang dapat kita harapkan dari mereka sesudah kita tiada. Sebaliknya ketika akhirat yang menjadi himmahnya, maka seluruh langkahnya adalah langkah-langkah menuju kebahagiaan akhirat, meskipun mereka tampaknya sedang bekerja meraih dunia. Di saat itu, kegiatan dunia pun membawa mereka ingat kepada akhirat. Apalagi sujud dan ruku’ mereka.
*Tulisan ini telah terbit di Majalah Suara Hidayatullah edisi Januari 2020